EKSISTENSI BAHASA DAERAH MENUJU ZONA MERAH?
Oleh: Chaerudin A.Ewa
Sebagai sebuah ulasan, catatan ini bisa dianggap tak mendalam. Tapi sebagai pengantar kita bisa menjadikannya sebagai petunjuk awal, terutama yang sejalan pikiran dengan penulis yang punya ketertarikan terhadap bahasa dan pelestariannya. Istilah “zona kuning” kami acu pada tingkat intensitas bahaya yang dapat timbul di sebuah area bencana. Zona merah, kuning dan hijau bahkan zona hitam lalu menjadi lazim disebut pasca Bencana Pasigala 2018. Namun dalam tulisan singkat ini penulis menggunakan istilah yang sama untuk menunjukkan tingkat intensitas bahaya sesuai judul yang diangkat.
Ketika kita ingin melihat fenomena memudarnya eksistensi bahasa daerah, mungkin kita butuh pendalaman lewat penelitian. Namun dalam interaksi sosial masyarakat moderen kita dapat melihat sebuah benang merah tentang makin meredupnya eksistensi bahasa daerah.
Meredupnya eksistensi bahasa daerah itu bisa karena faktor dari luar yakni dapat disebut kemajuan teknologi komunikasi melalui teknologi informasi maupun karena makin minimnya penutur bahasa daerah dalam praktik keseharian.
Salah satu justifikasi dari pendapat ini adalah makin berkurangnya penggunaan bahasa daerah di kalangan generasi muda. Meluasnya interaksi melalui media sosial yang banyak dilakoni generasi muda mennuntut makin berkurangnya penggunaan bahasa daerah untuk menghindari ekses kesulitan komunikasi akibat latar belakang budaya yang berbeda dari para pegiat media sosial.
Padahal harus kita akui bahwa umumnya eksistensi bahasa daerah selama ini hanya mengandalkan bahasa lisan melalui penutur. Ada sebagian bahasa daerah di nusantara yang memiliki aksara (huruf) namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sepemahaman penulis yang biasa digunakan saat ini hanya 3 aksara Sangsekerta (Jawa), Lontarak (Makassar dan Bugis), dan Arab Jawi (Melayu).
Hal ini bisa dianggap sebagai satu keprihatinan yang dalam. Sebab kita memahami bahwa bahasa daerah merupakan salah satu warisan luhur budaya yang sangat berharga.
Maka kita mendorong sebetulnya adanya intervensi stakeholder khususnya pemerintah daerah dalam aksi nyata menjaga eksistensi bahasa daerah ini. Tentu selama ini sudah ada tetapi sangat tidak memadai. Pemerintah Daerah dapat dianggap masih kurang memiliki perhatian dan kepedulian. Ukuran itu misalnya dalam hal terkecil bahkan jika dicari pembandingnya dengan kepedulian terhadap pelestarian konten budaya, seperti tari, musik, seremoni pemilihan duta, festival budaya dan lainnya. Hal itu tentu saja penting, tetap tidak kalah pentingnya adalah memastikan bahasa sebagai identitas keunikan tertinggi sebuah budaya juga sangat tidak kalah pentingnya.
Sebagai sebuah eksistensi budaya. Penulis melihat bahwa masih ada pula ketimpangan dalam memandang prioritas pelestarian budaya. Dalam hal tradisi ritual budaya fisik semisal tari, pakaian, monumen, tradisi ritual cukup besar perhatian pemerintah daerah yang diberikan dengan dukungan dana yang kadang sangat besar. Namun dalam hal pelestarian bahasa justru cenderung sangat minimal. Kadang pun dilaksanakan hanya memberi kesan sekadar mengejar formalitas pertanggungjawaban program, yang cakupannya pun “sekadar itu lagi, itu lagi”. Apakah ini terjadi justru karena memandang bahwa pelestarian bahasa daerah bukan sesuatu yang urgen? Tetapi jika itu terjadi, kita makin yakin eksistensi bahasa daerah sudah masuk Zona Kuning.
PERAN LITERASI YANG DIABAIKAN
Dalam kultur peradaban yang dapat kita saksikan bersama. Literasi selalu memegang peranan sebagai dokumentasi pemikiran, ide, bahkan hasil budaya itu sendiri.
Penulis ambil contoh sederhana hipotesis sederhana adalah keberadaan kitab suci Al-Qur’an menjadi kunci tetap eksissnya Bahasa Arab terjaga selama ribuan tahun hingga hari ini. bahasa Arab yang kita ketahui juga berkembang, sebagian tumbuh dan mati. Tetapi lewat pencatatan yang didokumentasikan dalam bentuk tertulis. Bahasa Arab terjaga eksistensinya hingga hari ini.
Jika kita kaitkan dengan eksistensi bahasa daerah yang sudah kita bahas di atas. Maka kita saat ini tengah menghadapi ancaman kepunahan bahasa daerah yang salah satunya adalah tidak adanya dokumentasi tertulis yang dapat diwariskan secara turun temurun.
Pada sisi inilah menurut penulis yang sekaligus sebagai penutup untuk menjadikan pendokumentasian bahasa daerah menjadi beban dan tanggung jawab moral semua pihak yang masih memahami tuturan bahasa daerah. Lebih lagi bahasa daerah yang sedang terancam kepunahannya.
Kita mengapresiasi misalnya instansi seperti
Balai Bahasa di daerah yang secara terprogram menjadikan dokumentasi bahasa daerah
sebagai bagian program kerja. Namun itupun belumlah cukup, jika tak ingin
mengatakan masih berkutat sekadar formalitas simbolik yang berada di puncak menara
gading namun belum memiliki dampak langsung di tataran masyarakat luas. Perlu
sinergi dan kerja sama yang lebih luas untuk menjadikan program kerja yang dilakukan memiliki dampak maksimal di masyarakat khusunya terkait dengan eksistensi bahasa daerah.
Saat-saat ini adalah masa-masa krisis eksistensi bahasa daerah yang jika tidak disikapi dengan tepat akan menjadi “beban dan penyesalan sejarah”. q
(Diangkat dari Buku Bersama 2020, Jejak Literasi Anak Negeri akan Terbit Februari 2021
Posting Komentar
0 Komentar