UANG PANAI': ASAL USUL DAN FENOMENANYA
Makna Asli Uang Panai'
Kalangan masyarakat umumnya mengetahui Uang Panai’ (Doe’ Panai’: Bahasa Makassar atau Doi Menre’: Bahasa Bugis) adalah uang belanja yang menjadi syarat adat pernikahan Suku Bugis maupun Suku Makassar, tapi tepatkah demikian?
Walaupun tidak sepenuhnya keliru, tetapi ternyata uang panai’ sesuai nama pada awalnya merupakan denda adat yang diperuntukkan agar seorang laki-laki dapat menikahi perempuan yang memiliki derajat lebih tinggi dari sang pria. Melalui uang panai, seorang pria atau suami kemudian bisa diakui memiliki derajat kebangsawanan yang sama dengan wanita yang dinikahinya.
Uang panai awalnya memang berlaku terbatas di kalangan bangsawan, dan belum berlaku secara umum bagi wanita Makassar dan Bugis seperti saat ini. Dalam referensi yang lain disebutkan bahwa uang panai’ pada awalnya diberlakukan karena adanya kebiasaan orang-orang Belanda yang suka menikahi wanita-wanita keturunan Bugis dan Makassar namun kemudian menelantarkannya. Hal itulah yang membuat pemangku adat dari bangsawan Bugis dan Makassar kemudian memberlakukan uang panai. Dan sejak saat itu kebiasaan orang-orang Belanda yang menikahi dan menelantarkan wanita Bugis dan Makassar yang dinikahinya tidak lagi terjadi.
Awalnya Berlaku Terbatas di Kalangan Bangsawan
Seperti disebutkan di atas bahwa pada awalnya uang panai' diberlakukan di kalangan bangsawan saja. Namun saat ini uang panai' berlaku secara umum sebagai rangkaian syarat sebuah pernikahan di kalangan wanita-wanita Suku Makassar maupun Suku Bugis.
Jika ditelisik kesamaan budaya di kalangan Suku Bugis dan Suku Makassar terkait uang panai ini maka bisa ketahui bahwa pemberlakukan adat uang panai' ini sudah cukup lama. Namun kesamaan pada dua suku tersebut mengindikasikan bahwa pemberlakukan adat ini terjadi setelah adanya interaksi luas dan pembauran antara Suku Bugis dan Suku Makassar. Sementara jika dikaitkan dengan kehadiran Agama Islam, diperkirakan bahwa uang panai' sudah berlaku sejak awal-awal masuknya Agama Islam di Sulawesi Selatan. Sebab walaupun tidak sepenuhnya bertentangan, namun penerapan uang panai belum merepresentasikan ajaran agama Islam yang menganut prinsip memudahkan dalam urusan pernikahan.
Banyak yang kemudian menganggap, bahwa penerapan uang panai’ membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat etnik ini. Sebuah filosofi yang dianggap luhur sebagai simbol penghargaan dan nilai yang tinggi seorang wanita yang harus diperjuangan namun kemudian sebagiannya bergeser menjadi sentimen negatif oleh ekses lain yang ditimbulkannya. Maraknya “Silariang” (kawin lari dimana seorang pria dan kekasihnya sepakat untuk lari atau kabur dari rumah kemudian pergi ke penghulu nikah/imam desa atau imam dusun sebagai perangkat struktural keagamaan di Sulawesi Selatan lalu menikahinya) dan penerapan uang panai sebagai simbol gengsi dari keluarga yang mengadakan pernikahan acapkali menjadikan uang panai sebagai beban yang membawa dampak panjang di kemudian hari termasuk setelah diselenggarakannya acara pernikahan.
Fakta Unik Pemberlakuan Uang Panai'
Fakta menunjukkan, banyak keluarga yang harus terjerat hutang, menjual tanah dan warisan yang terbatas demi memenuhi syarat adat uang panai' ini. Dalam kenyataannya uang panai' yang diberikan kepada mempelai perempuan pun umumnya semata digunakan untuk membiayai pesta secara besar-besaran. Maka, makin besar uang panai' yang diberikan, maka makin besar dan mewah pula pesta yang diselenggarakan. Atau dengan kata lain, jika seorang mempelai mendapatkan uang panai' yang besar, maka dalam persepsi masyarakatnya harus melaksanakan pesta yang besar dan mewah. Hal itu membuat uang panai hanya habis digunakan untuk pesta walaupun tidak jarang pasangan yang sudah menikah itu kemudian hidup terbatas dan tidak sedikit yang terlilit hutang setelah selesainya acara pernikahan.
Masyarakat Makassar dan Bugis yang sudah menganut Agama Islam pun nampaknya tidak bisa sepenuhnya lepas dari adat uang panai’ ini. Ajaran Agama Islam sendiri memberikan tuntunan agar pernikahan dilakukan dengan memudahkan pihak laki-laki memberikan mahar sesuai kemampuan yang dapat diberikan. (Ulasan oleh Chaerudin A. Ewa dari berbagai sumber).
Posting Komentar
0 Komentar