PENDIDIKAN MAJU (TAPI) MUNDUR

  


Oleh: Chaerudin A.Ewa *)

Apakah pendidikan harus mahal? Bisa iya, bisa juga tidak. Sebab, pendidikan tidak ditentukan oleh semata satu faktor dan variabel biaya saja. Boleh kita mengatakan anak kita masuk sekolah atau kampus favorit, tetapi di akhir juga jangan mengeluh jika proses tersebut tidak memuaskan misalnya dalam memeroleh pekerjaan walaupun pengeluaran untuk biaya pendidikan sangat mahal. Sebab pendidikan itu,  bukan semata ditentukan oleh sekolah dan kampus semata, tetapi ada faktor lain seperti keluarga dan lingkungan sosial.

Mengapa pendidikan itu (terkesan) mahal. Hal itu terjadi dapat diduga karena adanya mis-orientasi, bahkan bisa jadi adalah pemborosan yang tidak perlu dari sebuah mata rantai sistem pendidikan.

Jamaknya dalam sebuah sistem di negeri ini, nampaknya kita masih terpaku pada formalitas, legalitas semata, yang kalau kita telisik lebih jauh bisa jadi hal tersebut sangat tidak efisien dan boros hingga berujung pada mahalnya biaya pendidikan tersebut.

Sebuah lembaga pendidikan, agar bisa terpercaya sebagai lembaga yang “pantas” dibayar mahal, akan memoles gedungnya sangat indah, melengkapi fasilitasnya dengan sarana yang mahal pun tenaga pendidik akan “didandani” dengan seragam, kendaraan dan berbagai formalitas pelatihan tersertifikasi dan bergengsi, mengejar legalitas formal bernama akreditasi yang tidak jarang mengharuskan keharusan mengikuti berbagai "perangkap" birokrasi yang juga pastinya menyedot anggaran tak sedikit.

Seorang guru atau dosen, bisa lebih banyak waktu yang habis untuk membuat laporan, mengikuti pelatihan kurikulum dan pembelajaran, bimtek yang bisa berubah-ubah setiap beberapa tahun bukan hanya karena perbedaan jenjang pendidikan tetapi juga karena faktor mendasar berupa perubahan kurikulum. Kondisi ini pastinya memakan anggaran, minimal untuk mengimbanginya dengan pembelajaran harus disuplai tenaga dan waktu yang lebih banyak dan berkontribusi otomatis pada biaya pula. Belum lagi inflasi yang sangat tinggi dan terus terjadi dari tahun ke tahun.

Teknologi yang dalam gambaran banyak orang akan semakin mempermudah dan murah, ternyata dalam faktanya di lapangan tidak sepenuhnya demikian. Banyak variabel kebutuhan yang terkait teknologi yang sungguh-sungguh mahal, lebih lagi jika masih terkait dengan penyesuan sebuah perangkat teknologi.

Belum lama ini heboh masalah kenaikan UKT yang nampaknya belum sepenuhnya redah, walaupun kemudian ditunda, ditengarai sangat sulit untuk tidak diberlakukan di waktu mendatang kecuali dilakukan perubahan mendasar kembali. Padahal sistem UKT yang diperkenalkan beberapa tahun terakhir, digadang-gadang sebagai solusi agar biaya kuliah memiliki manajemen lebih matang, menghindari pungutan liar dan embel-embel pungutan biaya di luar SPP. Tetapi kemudian nampaknya, sistem UKT ini menjadi bumerang dengan segala dinamikanya dalam dunia kampus.

ANOMALI ARAH PENDIDIKAN

Dengan mahalnya biaya pendidikan lalu kemana arahnya? Mahalnya pendidikan akan membawa konsekuensi yang membentuk “lingkaran setan”. Para lulusan bisa saja menuntut garansi, setelah lulus apa yang mereka dapatkan usai mengeluarkan demikian banyak biaya. Tuntutan itu akan membentuk formalitas baru, aturan-aturan baru yang mem-backup agar lulusan-lulusan tersebut tidak “tekor” karena telah mengeluarkan banyak biaya.

Maka inilah anomali, di tengah tuntutan efisiensi berbagai bidang dan sektor kehidupan. Formalitas semacam ini sulit diterima, bahkan hanya akan menjadi beban negara. Kita ambil contoh sederhana, seberapa besar saat ini dunia usaha mempertimbangkan tingginya jenjang pendidikan seorang pelamar pekerjaan? Sangat sedikit. Dunia kerja membutuhkan skill, bukan semata lembaran ijazah yang bahkan dimana kemampuan dunia pendidikan memenuhinya kualifikasi yang dibutuhkan tidak secepat kebutuhan dunia usaha itu sendiri.

Bukan hanya pada perusahaan swasta tetapi bahkan perusahaan negara maupun menjadi pegawai negeri pun demikian. Sistem outsorcing yang semakin merata di berbagai instansi negeri dan swasta secara alami akan membawa konsekuensi ini dimana orientasi penerimaan pegawai adalah berdasarkan bidang kerja dan proyek yang sementara berjalan. Outsorcing dipilih sebab asumsi bahwa makin tinggi pendidikan menentukan tingkat jenjang kepangkatan dan gaji juga merupakan beban tersendiri, orientasi dunia kerja yang tidak lagi memprioritaskan jenjang karir dan kepangkatan menjadikan mahalnya pendidikan menjadi anomali yang membutuhkan kearifan menyikapinya.

Biaya pendidikan yang mahal pada saat ini tidak dapat dipastikan akan membawa ujung baik yang diharapkan. Bisa-bisa malah hanya menjadi ajang bunuh diri sistem pendidikan kita. Kapitalisasi dunia pendidikan akan semakin mencuak ke permukaan. Akan berjamuran hadir lembaga-lembaga pendidikan baru yang mungkin bahkan saling sikut, bersaing secara tidak sehat memperebutkan pasar bernama peserta didik. Lalu peserta didik tak ubahnya adalah pasar dan pembeli jasa semata.

Dengan berubahnya otoritas pemerintahan yang akan datang, semoga ini menjadi masukan!

*Penulis Buku dan Pemerhati Pendidikan

Posting Komentar

0 Komentar