BUYA HAMKA; OTODIDAK LITERASI INDONESIA KALIBER DUNIA

Oleh: Chaerudin A. Ewa //Penulis Buku "Menulis Buku Siapa Bilang Mustahil"//

#Sulawesimenulis

Bagi komunitas literasi Indonesia, namanya tak akan lekang dalam ingatan. Menyematkannya sebagai sosok multi talenta dalam bidang literasi tidaklah berlebihan. Beliaulah Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang justru populer dengan panggilan Buya Hamka.

Menyebut gelar Guru Besar (professor) dan Doktor yang disandangnya, mungkin identik beliau sebagai seorang akademisi dengan jenjang pendidikan tinggi. Padahal beliau sesungguhnya adalah salah satu pembelajar otodidak paling ideal negeri ini. Sebab gelar yang beliau peroleh bukan karena jenjang pendidikannya. Dalam catatan hidup beliau bahkan tercatat, “hanya” pernah mengenyam pendidikan formal lewat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau hingga kelas dua.

Tetapi penghargaan atas ketinggian intelektual beliau yang diperolehnya dengan jalan ototdidak. Inilah yang justru sangat menarik. Bahkan karena pengakuan atas kapasitas beliau, dipercaya sebagai Dosen Universitas Islam Jakarta hingga menjadi Rektor, dosen Universitas Muhammadiyah Padang dan mendapatkan gelar Guru Besar (professor) dari Universitas Mustopo Jakarta.

Kemampuan belajarnya yang luar biasa juga diakui oleh Universitas Al-Azhar Kairo Mesir (1958) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1974) yang kemudian masing-masing menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan kepadanya. Buya Hamka pun pernah diminta mengabdi sebagai Pegawai Tinggi Agama di Kementerian Agama yang dari sana beliau mendapat mengajarkan ilmunya ke seluruh persada Indonesia.

Berbicara tentang karya-karyanya, maka kita akan memahami keluasan pemikiran beliau yang mendalam. Beliau menulis tentang filsafat yang mendalam, menulis sejarah yang detail, menulis gagasan Islam yang cemerlang, bahkan menjadi Sastrawan yang menyentuh hingga ratusan judul buku. Untuk meraih semua itu, Buya Hamka pantas disebut otodidak sejati.

Bahkan semangatnya untuk belajar sebagai otodidak tersebutlah yang mampu melejitkan kemampuannya. Ia menulis buku dan majalah hingga menerbitkannya sendiri melalui Pustaka Panjimas. Tentu kita tidak bisa menyamakanteknologi penerbitan saat itu dengan sekarang, toh dengan kondisi yang terbatas beliau mampu mencatatkan prestasi gemilang di bidang literasi negeri ini.

Beliau pernah dipenjarakan oleh Orde Lama, tetapi justru dalam penjara tersebutlah beliau menulis karyanya yang monumental, Tafsir Al-Azhar. Sebagai seorang otodidak, pencapaian beliau bahkan melampau zamannya. Beliau meninggal tahun 1981 dan meninggalkan tidak kurang dari 118 judul buku berbagai bidang keilmuan belum termasuk ratusan judul tulisannya yang tersebar di berbagai media massa maupun naskah-naskah ceramahnya. Berbagai karyanya tersebut hingga kini bahkan menjadi kajian dan diterima sebagai referensi di dunia internasional.

Apa yang kita pelajari dari perjalanan hidup beliau? Tentunya adalah hikmah di balik kemauan untuk belajar tidak boleh dibatasi oleh ruang bernama sekolah atau kampus. Di manapun itu seorang pembalajar dapat meraih capaian luar biasa bahkan walau melalui proses yang disebut otodidak. Hikmah lainnya adalah jadilah orang tua yang terdepan mendukung hal positif anak yang menjadi bakatnya. Buya Hamka tak hadir tiba-tiba tanpa adanya orang tua yang hebat di belakangnya, yang menjadi pendorong utama bagi anak untuk maju dan meraih cita-citanya.

Posting Komentar

0 Komentar